Ritual Wara-Nyalimbat Di Desa Paring Lahung Kecamatan Montallat (Kajian Teologi Hindu Kaharingan)
Abstract
Abstak
Dalam cakupan budaya-relegi, pelaksanaan ritual Wara-Nyalimbat, merupakan warisan budaya-tradisi leluhur yang memilik makna teologi ‘sebagai sebuah keyakinan terhadap tujuan akhir kehidupan’ melalui sebuah prosesi yang sangat simbolik dengan ritus mengantarkan roh arwah (Dia/Liau) ke suatu tempat yang dinamakan Tuluyon Sangkir Langit Antai Kalalungan Tatau/Kolong Bulau (alam Kalalungan [Bhatara-Bhatari]), dalam keyakinan bahwa roh arwah telah dalam keadaan suci, sehingga ‘martabatnya’ telah meningkat menjadi Kalalungan/Dewa-Dewi (manifestasi Tuhan). Oleh karena itu roh arwah tersebut diberi nama dengan istilah Dewa Kalalungan Aning Kalalio. Selanjutnya Dewa Kalalungan Aning Kalalio secara otomatis memiliki hakekat mulia Ju’us Tuha Allahtalla (Tuhan), sehingga kemudian diyakini sebagai ‘penyelamat’ yang akan diminta pertolongan/kehadirannya ketika keturunannya mengalami kesulitan hidup. Keberadaaan ritual ini juga dimaksudkan sebagai bentuk penghayatan terhadap keberadaan Ju’us Tuhaalahtala (Tuhan). Hal ini senada dengan pendapat Wiana (1993) dalam buku yang berjudul “Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan” bahwa salah satu jalan menghayati Tuhan melalui Budaya Agama. Budaya agama adalah bagaimana upaya penghayatan terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk kegiatan budaya. Pelaksanaan ritual Wara-Nyalimbat ini dapat pahami sebagai sebuah bentuk kegiatan budaya-relegi.
Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori budaya-relegi. Teori ini digunakan untuk mengetahui proses budaya-relegi yang mewarnai kehidupan umat Hindu Kaharingan, khususnya terkait dengan tradisi Wara-Nyalimbat. Kebudayaan sebagaimana dijelaskan Wiana seperti diatas, dan Ahimsa-Putera dalam Nur Syam (2005: 13) merupakan produk dari aktifitas nalar manusia. Melalui akal-nalarnya manusia dapat berkarya dan menghasilkan peradaban. Sedangkan kebudayaan diimplementasikan melalui makna-makna yang diteruskan secara historis dan terwujud dalam simbol-simbol. Sehingga rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana konstruksi budaya-relegi tradisi ritual Wara-Nyalimbat baik melalui prosesi, sarana-prasarana yang digunakan, maupun makna teologi yang tersirat, dilakukan secara turun temurun oleh umat Hindu di Desa Paring Lahung Kecamatan Montallat. Tulisan ini merupakan hasil penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan observasi, menemukan bahwa tradisi Wara-Nyalimbat menjadi salah satu media penunaian karma (kewajiban-sosial) kepada kerabat-handai-taulan yang
References
MB-AHK Pusat Palangka Raya. 2009. Panaturan. Penerbit Widya Dharma. Denpasar
Pendit Nyoman S. 1995. Bhagawadgita. Jakarta. Hanuman sakti
Sarwoto Kartodipoero. 1963. Kaharingan Relegi dan Penghidupan di Pelabuhan Kalimantan. Penerbit Sumur Bandung
Tim Penelitian. 1982/1983. Sejarah dan Kebudayaan Indonesia.-Laporan Penelitian. TP.
Wiana. I Ketut, 1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta. Manikgeni