Hukum Adat Masyarakat Hindu Asal Bali Sebagai Pedoman dalam Menjalankan Kehidupan Bermasyarakat dan Beragama di Desa Sebamban III Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

Hukum Adat Masyarakat Hindu Asal Bali Sebagai Pedoman dalam Menjalankan Kehidupan Bermasyarakat dan Beragama di Desa Sebamban III Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

  • Budhi widodo

Abstract

Sistem hukum yang berlaku di Indonesia masih pluralistis dimana masih berlaku
beberapa sistem hukum dalam masyarakat. Selain hukum positif juga diakui berlakunya
hukum kebiasaan atau hukum adat di seluruh wilayah tanah air begitujuga di wilayah
Kalimantan khususnya bagi masyarakat Bali yang bermukim di wilayah Desa Sebambam III
Kecamatan Sungai Lobam Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini
tentunya dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat kita yang sangat heterogen sehingga
masing-masing suku dan daerah memiliki adat istiadat serta hukum adatnya sendiri-sendiri
yang diakui, dipatuhi sebagai sebuah norma yang turut mengatur kehidupan sosial
masyarakat adat.Pendekatan penelitian hukum empiris (sosiologis) khususnya kepada
penelitian hukum yang tidak tertulis dengan pendekatan penelitian diskriptif kualitatif.
“Pendekatan atau metode kualitatif adalah metode yang mengungkap fakta-fakta secara
mendalam berdasarkan karakteristik ilmiah dari individu atau kelompok untuk memahami
dan mengungkap sesuatu dibalik fenomena”.
Masyarakat Hindu di Desa Sebamban III Kecamatan Sungai Loban memiliki tradisi
hukum adat yang sampai saat ini masih dipertahankan keberadaannya dalam lingkungan
masyarakat yang berfungsi sebagai pengendali sosial masyarakat. Bentuk hukum kebiasaan
adat tertuang dalam bentuk aweg-aweg atau aturan kebiasaan masyarakat Hindu asal Bali
yang ada di desa Sembanbam III.Fungsi Awig-Awig bagi Masyarakat Hindu asal Provinsi
Bali dalam Menjaga Ketertiban Bermasyarakat dan Beragama di Desa Sebamban III
Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu.Awig-awig tumbuh dari bawah yaitu
dari ketulusan masyarakat adat untuk kepentingan ketentraman dan keharmonisan
masyarakat adat itu sendiri.
Sedangkan penerapan sanksi mengacu kepada moto “Desa mawa cara, negara mawa
tata” yang memiliki pengertian bahwa setiap tempat, masyarakat dan kaum memiliki caracara
tersendiri dalam segala hal. Termasuk dalam waktu pelaksanaan penerapan sanksi
dalam awig-awig yaitu pada saat adanya kegiatan di Pura seperti rapat, gotong royong,
ngayah maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Kelihan Desa bersama
seluruh anggota masyarakat yang beragama Hindu bahkan sanksi terberat sampai pemberian
denda berupa harta.

References

Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence). Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Bushar Muhammad.2002. Asas-Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar). PT. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Hilman Hadikusuma. 2003. Pengatar Ilmu Hukum Adat Indonesia.CV. Mandar Maju.
Bandung.
I Nyoman Nurjaya. 2008, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi
Hukum.Prestasi Pustakan Publisher. Jakarta.
I Wayan Surpha.2006. Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali. Pustaka Bali Post. Denpasar.
Nila Riwut. 2003, Tjilik Riwut Sanaman Mantikey, Maneser Panatau Tatu Hiang:
Menyelami Kekayaan Leluhur. Pusaka Lima. Palangkaraya.
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Biro Hukum Setda Provinsi Kalimantan Tengah. 2008. Hukum Adat Dayak Blaman Kabupaten Lamandau.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen, Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat.
Published
2019-08-08
How to Cite
widodo, B. (2019). Hukum Adat Masyarakat Hindu Asal Bali Sebagai Pedoman dalam Menjalankan Kehidupan Bermasyarakat dan Beragama di Desa Sebamban III Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Belom Bahadat, 7(1). https://doi.org/10.33363/bb.v7i1.268